/* Comments ----------------------------------------------- */ #comments { margin:-25px 13px 0; border:1px dotted #bbbbbb; border-width:0 1px 1px; padding-top:20px; padding-right:0; padding-bottom:15px; padding-left:0; } #comments h4 { margin:0 0 10px; padding-top:0; padding-right:14px; padding-bottom:2px; padding-left:29px; border-bottom:1px dotted #bbbbbb; font-size:120%; line-height:1.4em; color:#ffffff; } #comments-block { margin-top:0; margin-right:15px; margin-bottom:0; margin-left:9px; } .comment-author { background:url("http://www.blogblog.com/rounders4/icon_comment_left.gif") no-repeat 2px .3em; margin:.5em 0; padding-top:0; padding-right:0; padding-bottom:0; padding-left:20px; font-weight:bold; } .comment-body { margin:0 0 1.25em; padding-top:0; padding-right:0; padding-bottom:0; padding-left:20px; } .comment-body p { margin:0 0 .5em; } .comment-footer { margin:0 0 .5em; padding-top:0; padding-right:0; padding-bottom:.75em; padding-left:20px; } .comment-footer a:link { color: #ced; } .deleted-comment { font-style:italic; color:gray; } /* Profile ----------------------------------------------- */ .profile-img { float: left; margin-top: 5px; margin-right: 5px; margin-bottom: 5px; margin-left: 0; border: 4px solid #ffffff; } .profile-datablock { margin-top: 0; margin-right: 15px; margin-bottom: .5em; margin-left: 0; padding-top: 8px; } .profile-link { background:url("http://www.blogblog.com/rounders4/icon_profile_left.gif") no-repeat left .1em; padding-left:15px; font-weight:bold; } .profile-textblock { clear: both; margin: 0; } .sidebar .clear, .main .widget .clear { clear: both; } #sidebartop-wrap { background:#99bb55 url("http://www.blogblog.com/rounders4/corners_prof_bot.gif") no-repeat left bottom; margin:0px 0px 15px; padding:0px 0px 10px; color:#ffffff; } #sidebartop-wrap2 { background:url("http://www.blogblog.com/rounders4/corners_prof_top.gif") no-repeat left top; padding: 10px 0 0; margin:0; border-width:0; } #sidebartop h2 { line-height:1.5em; color:#ffffff; border-bottom: 1px dotted #ffffff; font: normal bold 100% 'Trebuchet MS',Verdana,Arial,Sans-serif; margin-bottom: 0.5em; } #sidebartop a { color: #ffffff; } #sidebartop a:hover { color: #eeeeee; } #sidebartop a:visited { color: #eeeeee; } /* Sidebar Boxes ----------------------------------------------- */ .sidebar .widget { margin:.5em 13px 1.25em; padding:0 0px; } .widget-content { margin-top: 0.5em; } #sidebarbottom-wrap1 { background: #ffffff url("http://www.blogblog.com/rounders4/corners_side_top.gif") no-repeat left top; margin:0 0 15px; padding:10px 0 0; color: #666666; } #sidebarbottom-wrap2 { background:url("http://www.blogblog.com/rounders4/corners_side_bot.gif") no-repeat left bottom; padding:0 0 8px; } #sidebar { background:url("http://www.blogblog.com/rounders4/rails_side.gif") repeat-y; } #sidebar { color: #666666; } #sidebar h2 { color: #666666; border-bottom: 1px dotted #666666; margin-bottom: 0.5em; } #sidebar a { color: #447755; } #sidebar a:hover, #sidebar a:visited { color: #779988; } .sidebar h2 { margin:0; padding:0 0 .2em; line-height:1.5em; font:normal bold 100% 'Trebuchet MS',Verdana,Arial,Sans-serif; } .sidebar ul { list-style:none; margin:0 0 1.25em; padding:0; } .sidebar ul li { background:url("http://www.blogblog.com/rounders4/icon_arrow_sm.gif") no-repeat 2px .25em; margin:0; padding-top:0; padding-right:0; padding-bottom:3px; padding-left:16px; margin-bottom:3px; border-bottom:1px dotted #bbbbbb; line-height:1.4em; } .sidebar p { margin:0 0 .6em; } /* Footer ----------------------------------------------- */ #footer-wrap1 { clear:both; margin:0 0 10px; padding:15px 0 0; } #footer-wrap2 { background:#447766 url("http://www.blogblog.com/rounders4/corners_cap_top.gif") no-repeat left top; color:#063E3F; } #footer { background:url("http://www.blogblog.com/rounders4/corners_cap_bot.gif") no-repeat left bottom; padding:8px 15px; } #footer hr {display:none;} #footer p {margin:0;} #footer a {color:#063E3F;} #footer .widget-content { margin:0; } /** Page structure tweaks for layout editor wireframe */ body#layout #main-wrap1, body#layout #sidebar-wrap, body#layout #header-wrapper { margin-top: 0; } body#layout #header, body#layout #header-wrapper, body#layout #outer-wrapper { margin-left:0, margin-right: 0; padding: 0; } body#layout #outer-wrapper { width: 730px; } body#layout #footer-wrap1 { padding-top: 0; } /* Label Cloud Styles ----------------------------------------------- */ #labelCloud {text-align:center;font-family:arial,sans-serif;} #labelCloud .label-cloud li{display:inline;background-image:none !important;padding:0 5px;margin:0;vertical-align:baseline !important;border:0 !important;} #labelCloud ul{list-style-type:none;margin:0 auto;padding:0;} #labelCloud a img{border:0;display:inline;margin:0 0 0 3px;padding:0} #labelCloud a{text-decoration:none} #labelCloud a:hover{text-decoration:underline} #labelCloud li a{} #labelCloud .label-cloud {} #labelCloud .label-count {padding-left:0.2em;font-size:9px;color:#000} #labelCloud .label-cloud li:before{content:"" !important} #toc { border: 0px solid #000000; background: #446666; padding:2px; width:490px; margin-top:10px;} .toc-header-col1, .toc-header-col2, .toc-header-col3 { background: #B5CBFA; color: #000000; padding-left: 5px; width:200px;} .toc-header-col2 { width:75px;} .toc-header-col3 { width:125px;} .toc-header-col1 a:link, .toc-header-col1 a:visited, .toc-header-col2 a:link, .toc-header-col2 a:visited, .toc-header-col3 a:link, .toc-header-col3 a:visited { font-size:100%; text-decoration:none;} .toc-header-col1 a:hover, .toc-header-col2 a:hover, .toc-header-col3 a:hover { font-size:100%; text-decoration:underline; color:#3D3F44;} .toc-entry-col1, .toc-entry-col2, .toc-entry-col3 { padding-left: 5px; font-size:100%; background:#d5ffff;} /* magazine drop caps */ .magazine { float:left; color:#002E3F; background:#446666; line-height:80px; padding-:1px 5px 0 0; font-family:times; font-size:100px; } -->
My Princess Amanda dan Adinda

Monday, March 31, 2008

Learning Disabled vs Teaching Disabled

Tidak ada satupun anak yang bodoh.
Yang ada adalah anak yang "dipaksa" menjadi bodoh.


- oleh Adi W Gunawan

Pernahkah anda, orangtua atau pendidik, bertemu dengan seorang anak yang hampir semua nilai ujiannya "jeblok" namun dapat menghapal semua nama dan nomor punggung pemain sepak bola dan nama klub sepakbola yang ia kagumi? Saya yakin pasti pernah. Lalu apa hubungan antara pelajaran sekolah dan kemampuan menghapal nama pemain sepak bola? Oh, hubungannya sangat erat. Jika anda cukup jeli, anda pasti heran karena anak yang bodoh, menurut versi sekolah karena nilainya jelek, ternyata mempunyai daya ingat yang sangat tinggi untuk urusan sepakbola. Otak yang digunakan anak untuk mengingat pelajaran sekolah dan nama pemain sepak bola sudah tentu otak yang sama.

Orangtua dan guru biasanya tidak pernah mau repot-repot memikirkan keanehan ini. Biasanya guru selalu "menyalahkan" murid karena prestasi murid yang tidak maksimal. Orangtua sebaliknya akan kalang kabut mencarikan guru les bagi anaknya, agar nilai anak bisa naik. Jika anak sudah diberi les ini, les itu, nilainya masih tetap jelek, maka biasanya akan langsung diberi label sebagai anak bodoh, anak yang lamban, anak blo'on, atau, kalau pakai istilah teknis, learning disabled. Benarkah demikian?Coba anda simak cerita berikut ini.

Ada dua orang murid kelas 8 (SMP kelas 2), Jane dan Joe, yang sangat lemah di Matematika., khususnya mengenai pelajaran pecahan. Ke dua anak ini, oleh psikolog, telah mendapat label "learning disabled" alias mengalami kesulitan belajar. Selain itu ke dua anak ini juga ada masalah dengan spelling atau mengeja.

Orangtua mereka tetap berkeyakinan bahwa anak-anak mereka mampu. Hanya saja kemampuannya belum digunakan secara optimal. Mereka lalu meminta bantuan pakar pembelajaran mutakhir S.A.L.T (Suggestive Accelerated Learning and Teaching). Pakar ini setuju untuk membantu anak-anak ini.

Saat pertama kali mendapat terapi, mereka diminta mengerjakan pre-test yang berhubungan dengan kemampuan spelling. Untuk yang ini, tidak ada masalah. Mereka dengan senang hati mengerjakan tes yang diberikan. Sedangkan untuk pre-test matematika mereka sama sekali tidak mau. Meskipun sudah dibujuk dengan berbagai cara mereka tetap menolak. Saat ini anda tentu tahu apa yang terjadi. Ada mental block.

Tahukah anda berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat anak-anak ini meningkat kemampuannya? Hanya 4 hari. Benar, anda tidak salah baca. Hanya 4 (empat) hari. Berikut ringkasan test yang diberikan dari hari pertama hingga ke empat.

Mengeja / Spelling Matematika (Pecahan)
Hari 1 2 3 4 1 2 3 4
Jane 30 90 100 100 0 90 100 80
Joe 20 90 60 60 0 90 90 90

Hasil yang dicapai oleh Joe pada ujian mengeja, di hari ke 3 dan ke 4, seharusnya masing-masing 100. Namun Joe sengaja mengubah jawabannya yang benar menjadi jawaban yang salah karena dia tetap tidak percaya kalau ternyata dia mampu mengerjakan test ini dengan sempurna. Kembali, di sini kita melihat suatu mental block yang sangat merugikan.

Apa yang terjadi. Bagaimana anak yang tadinya dicap sebagai learning disabled tiba-tiba berhasil mencapai nilai yang begitu tinggi? Ke dua anak ini selanjutnya dapat menyelesaikan studi dengan baik dan bahkan masuk ke universitas.

Dari apa yang diceritakan di atas jelas terlihat bahwa anak tidak berprestasi karena adanya mental block, yang muncul sebagai akibat dari proses mengajar yang salah. Proses mengajar yang salah ini disebut dengan teaching disabled. Biasanya guru tidak pernah mau mengakui kalau ternyata mereka tidak mengerti cara mengajar yang baik, benar, efektif, dan efisien. Yang selalu disalahkan adalah murid.

Dari pengalaman saya bergaul dengan banyak pendidik, jarang ada yang benar-benar mengerti dan mampu menerapkan proses pembelajaran yang menarik, efektif, dan yang paling penting, menyenangkan. Banyak yang berasumsi bahwa bila guru mengajar maka murid pasti belajar. Mengajar dan belajar adalah dua proses yang berbeda.

Banyak hal yang perlu diketahui orangtua dan pendidik agar dapat membantu anak belajar, antara lain konsep diri, cara kerja pikiran, cara kerja otak, cara kerja memori, motivasi, rentang fokus optimal, gaya belajar, gaya asimilasi, penguasaan materi, manajemen kelas, kepribadian, musik, teknik memori, teknik mencatat, teknik berhitung, dan masih banyak lagi. Kalau sudah begini maka terlihat bahwa proses mengajar dan belajar bukanlah hal yang sederhana.

Saya juga selalu mengatakan bahwa setiap anak mempunyai kemampuan belajar yang sangat luar biasa. Bila berbicara mengenai kemampuan belajar maka orang selalu menghubungkannya dengan IQ. Di setiap seminar saya selalu mengatakan bahwa kita dapat belajar dengan sangat cepat. Dan selalu ada peserta seminar yang mengatakan, "Itu kan bergantung pada IQ. Kalau IQ-nya tinggi bisa, kalau IQ-nya biasa-biasa ya jangan harap bisa belajar dengan cepat dan dengan hasil yang baik". Cukup sulit bagi saya untuk meyakinkan tipe orang seperti ini. Orang ini hanya bicara IQ. Padahal yang saya tekankan adalah PQ atau Potential Quotient. PQ berbanding lurus dengan Konsep Diri. Semakin baik Konsep Diri seseorang maka semakin besar potensi diri yang dapat ia kembangkan.
Read Full Post ...,

Sunday, March 30, 2008

Yang Serba Instant

Sejalan dengan kemajuan ekonomi dan teknologi di dunia ini, tuntutan manusia terhadap hal-hal yang instant semakin menjadi-jadi. ”Proses” menjadi hal yang kesekian, yang penting hasil akhir bagaimanapun caranya dengan dalih menghemat waktu. Mulai dari masalah minuman, makanan, kekayaan, ketenaran, bahkan sampai masalah pendidikan dan pengasuhan kalau bisa dapat dihasilkan secara instant.

Sering kita dengar akhir-akhir ini, banyak ditawarkan mie instant, bubur instant, soup instant, teh instant, dll, dimana hasil akhir berupa Mie, Bubur, Teh yang ”enak” dirasa dapat dipenuhi secara cepat. Orang sudah kurang peduli terhadap proses pembuatannya dan kandungan makanannya .... tanpa bertanya apa saja kandungannya, kok bisa disimpan dalam jangka waktu yang lama, apakah baik buat kesehatan, dsb.

Pagi ini saya membaca sebuah artikel di harian KOMPAS (Minggu, 30 Maret 2008) hal 1. Artikel ini berjudul KISAH SELEBRITI GAGAL, yang merupakan kisah yang sangat ironis di antara menjamurnya acara reality shows di tv hampir di seluruh dunia termasuk di negara kita. Segala kegiatan bisa menjadi sebuah acara yang menarik buat sponsor. Dan yang sangat menarik adalah begitu banyaknya manusia yang mendaftar untuk sebuah audisi reality show dengan keinginan menjadi terkenal atau kaya dalam waktu singkat. Bahkan para peserta mencoba lagi berbagai jalan yang lebih pintas untuk mendapatkan tempat ”pertaman” dalam acara tsb, salah satunya dengan cara ”ngebom sms” ...... mengirim sms dari handphonenya sendiri sebanyak mungkin untuk mendukung dirinya sendiri.... suatu tindakan curang yang sebenarnya tak berguna (kalau dia mengerti bagaimana pooling dilakukan). Begitu sudah menjadi budaknyakah kita dengan kata INSTANT sehingga kelihatannya kita sudah tidak percaya dengan pesan para orangtua kita dahulu yaitu

"BERAKIT-RAKIT KE HULU BERENANG-RENANG KETEPIAN, BERSAKIT-SAKIT DAHULU BERSENANG-SENANG KEMUDIAN."



Segala komiditas di dunia kehidupan ini satu persatu dijadikan sebuah acara tv yang memungkinkan tv tersebut mendapat rating dari acara yang mereka putar. Acara ini ada yang hanya untuk lucu-lucuan saja, ada yang mengiming-ngimingkan menjadi kaya, top atau terkenal, menjadi selebriti, dll; ada juga yang kelihatannya bertujuan untuk kemanusiaan, menolong sesama, dll. Tetapi.... apakah pernah terpikirkan oleh kita nasib para pesertanya baik yang ikut audisi, yang tereliminasi maupun yang akhirnya menjadi si ”pemenang”nya setelah episode acara tsb selesai.

Banyak dari mereka yang ikut acara ini sudah mengorbankan seluruh hidupnya dan keluarganya, waktu dan hartanya dengan harapan bahwa semua itu akan kembali dan terbalas dalam waktu yang singkat begitu mereka menjadi yang nomor satu atau ”pertama” dalam sebuah acara reality tsb.

Selain itu bagaimana dengan mereka yang merasa dipermalukan, dirugikan atau privacynya terganggu. Adakah tempat atau wadah buat mereka untuk menyalurkan rasa tertindas atau ketidakpuasan mereka. Rupanya hukum belum menjangkau semua aspek. Banyak sekali dari mereka yang merasa dirugikan dengan adanya acara ini tidak dapat melakukan apa-apa.

Dengan melihat gejala yang semakin menjamur ini, sebelum anak-anak kita memiliki pandangan yang melekat dalam pikiran mereka tentang sesuatu yang INSTANT, marilah kita sebagai orangtua dan pendidik bersama-sama memberikan pelajaran tentang perlunya suatu usaha dalam mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Kalau memungkinkan menerapkannya dalam segala hal, misalnya dengan memberikan makanan yang melalui suatu proses yang agak panjang sebelum bisa kita makan, dengan tidak selalu memenuhi keinginan anak kita secara langsung, meminta seorang anak untuk melakukan penelitian atau mendapatkan informasi dahulu sebelum mempelajari sesuatu, dengan mengurangi waktu anak-anak menonton acara reality show di tv tetapi menggantikannya dengan kegiatan lain yang lebih menggunakan usaha seperti berolah raga, bermusik, berkarya dalam bidang seni, dll.

Mudah-mudahan apa yang telah saya tulis membuka pikiran kita semua dan memberikan manfaat untuk anak-anak kita.

Salam, Read Full Post ...,

Saturday, March 29, 2008

Anak-anak Karbitan

Oleh Dewi Utama Faizah*)
(dicopy dari email yang dikirim ke saya)

*) Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.

Anak-anak yang digegas Menjadi Cepat mekar Cepat matang Cepat layu...

Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana mana orangtua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik.

Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua …


Captive Market !

Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan. Di samping ketidak patutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidaktahuannya!

Anak-Anak Yang Digegas…

Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak. Di antaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan kecakapan-kecakapan akademik dl dalam dan di luar sekolah.

Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian ?

James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada bcberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada scorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, dimana seorang Ibu yang bemama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif anaknya sejak si anak masih benapa janin. Baru saja bayi itu lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan mcnggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 6 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas.

Ketika usianya menginjak 15 lahun la menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia mcnjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.

Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu. Seperti halnya Einsten yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun.

Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh factor kognitif. Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan “Early Childhood Training”. Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasanmya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang dimana-rnana, di Indonesia… .

“Early Ripe, early Rot…!”

Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1960 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan “peluang emas” bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak-Kanak (Pra Sekolah). Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amcrika sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah “Era Headstart” merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk membelajarkan sains dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.

Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal “The Process of Education” pada tahun 1960, la menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika. “We begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in some intellectually honest way to any child at any stage of development”.

Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salahartikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk…

early ripe, early rot!

Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.

Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep “kesiapan-readiness” dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang “biological limitations on learning”. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka segera siap belajar apapun.

Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi “miniature orang dewasa”. Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet.

Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak-anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan bahasa. berpikir dan perilaku anak lumbuh kembang secara cepat.

Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah perhatikan, khususnva saat perilaku anak menampilkan gaya “kedewasaan “, sementara perasaannya menangis berteriak sebagai “anak”.

Dampak Berikutnya Terjadi… ketika anak memasuki usia remaja. Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak segan-segan mempertontonkan berbagai macam perilaku yang tidak patut. Patricia 0′ Brien menamakannya sebagai “The Shrinking of Childhood” Lu belum tahu ya… bahwa gue telah melakukan segalanya”, begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman-temannya. “Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks ” serunya bangga.

Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua menjadi cepat mekar…. kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan untuk berkembang, …. sebuah proses dalam kehidupannya !

Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas yang berkarier di luar rumah tidak menuliki waktu banyak dengan anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih mengandalkan tenaga “baby sitter” sebagai pengasuh anak-anaknya. Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai “Cinderella Syndrome” yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi rnenghindari kehidupan nyata vang mereka jalani.

Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut berbagai Ies, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi cilik, lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga sangat bangga jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka kepada baby sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anakÂanak mereka. Tidak jarang para baby sitter ini mengikuti pendidikan parenting di Iembaga pendidikan eksekutif sebagai wakil dari orang tua.

Era Superkids

Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva “be special” daripada “be average or normal” sernakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin anak-anak mereka menjadi “to exel to be the best”. Sebetulnya tidak ada yang salah. Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi lainnya…maka lahirlah anak-anak super—”SUPERKIDS”. Cost merawat anak superkids ini sangat mahal.

Era Superkids berorientasi kepada “Competent Child”. Orangtua saling berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya ”earlier is better”. Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik. Neil Posmant seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah…ketika anak-anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan!

Berbagai Gaya Orangtua

Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan -”miseducation” terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya.

Elkind (1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara lain:

Gourmet Parents à (ORTU BORJU)
Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia, dengan gaya hidup kebarat-baratan. Apabila menjadi orangtua maka mereka akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karier dan harta mereka. Penuh dengan ambisi!

Berbagai macam buku akan dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak. Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya membangun karier, maka “superkids” merupakan bukti dari kehebatan mereka sebagai orangtua.

Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknva baju-baju mahal bermerek terkenal, memasukkannya ke dalam program-program eksklusif yang prestisius. Keluar masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak tamasya keliling dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu saat kita melihat sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek mobil terkenal, maka itulah sekolah dimana banyak kelompok orangtua “gourmet ” atau- kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.

College Degree Parents à (ORTU INTELEK)
Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah ke atas. Mereka sangat pcduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya membantu membuat majalah dinding, dan kegiatan ekstra kurikular lainnya. Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka “Superkids “, Apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik yang tinggi.

Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah mahal yang prestisius sebagai buku bahwa mereka mampu dan percaya bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas.

Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah

Gold Medal Parents à (ORTU SELEBRITIS)
Kelompok ini adalah kelompok orangtua Yang menginginkan anak-anaknya menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan anaknya ke berbagai kompctisi dan gelanggang. Ada gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains yang akhir-akhir ini lagi marak di Indonesia. Ada juga gelanggang seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang kontes kecantikan. Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan menjadi “seorang Bintang Sejati “. Sejak dini mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi “Sang Juara”, mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis hingga none abang cilik kelika anak-anak mereka masih berusia TK.

Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu di mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok, dan acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta. Anak- anak mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat melelehi mascara mata kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat, membujuk anak-anaknya bersabar.

Mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan keluar sebagai pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas kertas. Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku ambisi kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an seorang gadis kecil pesenam usia TK rnengalami kelainan tulang akibat ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus “bintang cilik” Yoan Tanamal yang mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya.

Kemudian menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang setelah dewasa hanya menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent menimbulkan banyak bencana pada anak-anak mereka!

Pada tanggal 26 Mei lalu kita sasikan di TV bagaimana bintang cilik “Joshua” yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan orangtuanya. Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan anaknya seorang bintang dengan kembali menggelar konser tunggal. Sebagian dari kita tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya. Joshua ketika berumur kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak ajaib karena dapat menghapal puluhan nama-nama kepala negara. kemudian di usia balitanya dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat membentuk dan menjadikan anaknya seorang “superkid ”-seorang penyanyi sekaligus seorang bintang film,….

Do-it Yourself Parents
Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan professional di bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di tempat ibadah., di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok ini menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga bemimpi untuk menjadikan anak-anaknya “Superkids..earlier is better”.

Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.

Outward Bound Parents— (ORTU PARANOID)
Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka Iebih memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat-tempat tawuran yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep “Superkids”. Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya. Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari bahaya, seperti memasukkan anak-anaknya “Karate, Yudo, pencak Silat” sejak dini. Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-anaknya adalah bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka pikir akan membawa dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi “steril” dengan lingkungannya.

Prodigy Parents –(ORTU INSTANT)
Merupakan kelompok orangtua yang sukscs dalam karier namun tidak memiliki pendidikan yang cukup. Merceka cukup berada, narnun tidak berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia bisnis merupakan bakat scmata. Oleh karena itu mereka juga memandang sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya. ‘Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan hebat dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada anaknya. Oleh karena itu mereka sangat mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah. Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku tentang “Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca” karangan Glenn Doman, atau “Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika” karangan Siegfried, “Berikan Anakmu pemikiran Cemerlang” karangan Therese Engelmann, dan “Kiat-Kiat Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 6 Hari ” karangan Sidney Ledson

Encounter Group Parents–(ORTU NGERUMPI)
Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan. Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya kelompok ini sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-­anak dengan berbagai perilaku “gang ngrumpi” yang terkadang mengabaikan anak. Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau pun jika mereka memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok mereka. Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan latah untuk memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Menjadikan anak-anak mereka sebagai “Superkids” juga sangat diharapkan. Namun banyak dari anak-anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan. Namun banyak dari anak-anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.

Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis. Mereka cendcrung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan. Kelompok ini tidak berpeluang menjadi oraugtua yang melakukan “miseducation” dalam merawat dan mengasuh anak-anaknva. Mereka memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.

Mereka memenuhi rumah tangga mercka dengan buku-buku, lukisan dan musik yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah yang menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam kehidupan belajar. Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka. Mercka bcgitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya.

Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan didirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar scorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik !

Perspektif Sekolah Yang Mengkarbitkan Anak

Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah berorientasi kepada produk daripada proses pembelajaran. Sekolah terlihat sebagai sebuah “Industri” dengan tawaran-tawaran menarik yang mengabaikan kebutuhan anak. Ada program akselerasi, ada program kelas unggulan. Pekerjaan rumah yang menumpuk.

Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang sibuk sebagai “Operator kurikulum” dan tidak punya waktu mempersiapkan materi ajar karena rangkap tugas sebagai administrator sekolah Sebagai guru kelas yang mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak, guru hanya dapat menjadi “pengabar isi buku pelajaran” ketimbang menjalankan fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di saat-saat tertentu sekolah akan menggunakan “mesin-mesin dalam menskor” capaian prestasi yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa potongan-potongan mata pelajaran. Anak didik menjadi dimiskinkan dalam menjalani pendidikan di sckolah. Pikiran mereka diforsir untuk menghapalkan atau melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan sebagai anak. Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan anak jika mereka diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di pemerintahan? Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran ? Tumpulnya rasa dalam mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan dalam sanubari dan perilaku-pcrilaku keseharian mereka sebagai anak menjadi semakin senjang. Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan yang dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan dalam kehidupan nyata. Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk sekolah— dengan tugas-tugas dan PR yang menumpuk…. Namun sekolah tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah untuk menyongsong kehidupannya !

Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara yang sama. Membangun 90 % kognitif dengan 10 % afektif. Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah telah melakukan “pedagogy of the oppressed” terhadap anak-anak didiknya. Dimana guru mengajar anak diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek dari proses pembelajaran (Freire, 1993). Model pembelajaran banking system ini dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan terbesar. Belum lagi persaingan antar sekolah. dan persaingan ranking wilayah….

Mengkompetensi Anak— merupakan ‘KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN ?”

”Anak adalah anugrah Tuhan… sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang bertanggungjawab. .. “(Nature versus Nurture).

bagaimana ?

Karena ada dua pengertian kompetensi : kompetensi yang datang dari kebutuhan di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa) atau kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri.

Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John Watson (psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita-­sebagai komponen sentral dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pebelajar, maka mereka juga dapat dibentuk melalui pembelajaran dini.

Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut :

” Give me a dozen healthy infants, well formed and my own special world to bring them up in, and I’ll guarantee you to take any one at random and train him to become any type of specialist I might select-doctor, lawyer, artist, merchantchief and yes, even beggar and thief regardless of this talents, penchants.,; , tendencies, vocations, and race of his ancestors “.

Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan “intervensi
dini” setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut New Jersey pada tahun 1976. Dimana guru-guru melakukan serangkaian program tes untuk mengukur “Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic Skill) “dalam mata pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari pelaksanaan program ini dilaporkan kolomnis pendidikan Fred Hechinger kepada New York Times sebagai berikut :

The improvement in those areas were not the result of any magic program or any singular teaching strategy, they were… simply proof that accountability is crucial and that, in the past five years, it has paid off in New Yersey”.

Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang diilustrasikan sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami keterlambatan dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas rendah. semestinya kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dini sangat berbahaya jika dibuatkan kompetensi-Â perolehan pengetahuan hanya secara kognitif. Ulah karena hingga hari ini sekolah belum mampu menjawab dan dapat menampilkan kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran. Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti emosi, sosial, kognitif pisik, dan moral belum dapat dikemas dalam pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki anak sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk dibelajarkan. Bukan anak dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja !. Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Anak mengenali tumbuh kembang yang terjadi secara berkelangsungan dalam kehidupannya. Perilaku keingintahuan -”curiosity” inilah yang banyak tercabut dalam sistem persekolahan kita.

Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah Pendidikan ! “Empty Sacks will never stand upright”—George Eliot

Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif melalui kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan membangun secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang dimiliki anak didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati. dan pisik anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari “karakter”. Dimana mereka mendidik anak menjadi “good and smart “-terang hati dan pikiran

Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan “how learn to learn” pada anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi, dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina dengan baik melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan berbagai kreativitas

Thomas Edison mengatakan bahwa “genius is 1 percent inspiration and 99 percent perspiration “. Semangat belajar —”encourige’ -

TIdak dapat muncul tiba-tiba di diri anak. Perlu proses yang melibatkan hati—kesukaan dan kecintaan— belajar_ Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena gurunya yang tidak mencintai mereka sebagai anak.

Selanjutnya misi sekolah lainnya yang paling fundamental adalah mengalirkan “moral litermy” melalui pendidikan karakter. Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan plus karakter inilah tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King, Jr). lnilah keharmonisan dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik ….

PENUTUP

Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang terang hati dan terang pikiran— “good and smart”— merupakan tugas kita bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat, khususnya antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek kognitif dan mengabaikan faktor emosi.

Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi “SUPERKIDS”. Inilah fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini.

Inilah juga awal dari lahirnya era anak-anak karbitan ! Lihatlah nanti…ketika anak-anak karbitan itu menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan.

----------
Selain artikel di atas, saya juga menemukan beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik di atas seperti:
Generasi Karbitan Ala Indonesia. Semoga bermanfaat buat kita semua.

Salam,
Read Full Post ...,

Thursday, March 27, 2008

Homeschooling

Homeschooling saat ini sudah menjadi salah satu metode pendidikan yang dipilih para orangtua untuk mendidik putra-putri mereka. Pertama kali saya tertarik dengan metode pendidikan yang berbasis rumah (Homeschooling) adalah pada saat saya membaca buku Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karangan Tetsuko Kuroyanagi.

Pada saat itu, saya mempunyai perasaan, alangkah enak dan menyenangkannya jika sebuah sekolah bisa memenuhi minat hampir semua muridnya. Pembelajaran disesuaikan dengan minat masing-masing anak (teori Multiple Intelligences rupanya juga dipakai di sekolah itu). Belajar menjadi sesuatu kegiatan yang mengasyikkan dan menyenangkan sekali, bukan menjadi sebuah keharusan dan beban seperti yang saat ini kita lihat terjadi pada hampir semua anak-anak kita. Setiap anak yang mempunyai minat berbeda dapat terakomodir di dalam kelas. Sifat tenggang rasa dan saling menghargai di antara anak-anak terbentuk dengan adanya proses belajar yang seperti ini. Dan nilai bukan menjadi satu-satunya tolak ukur keberhasilan seorang anak. (Pada akhirnya hal-hal di ataspun saya temukan pada kelas dengan metode Montessori)

Bahwa belajar saat ini merupakan sebuah beban bagi anak-anak kita menjadi bertambah jelas setelah datang beberapa orangtua dengan anaknya ke tempat saya dan suami melakukan terapi dengan persoalan yang hampir-hampir sama yaitu tidak mau belajar atau kalau disuruh belajar marah-marah, selalu melupakan tugas dan kegiatan sekolah, susah berkonsentrasi pada saat belajar di sekolah, mogok atau tidak mau pergi sekolah, tidak menyukai atau membenci mata pelajaran tertentu, nilai pelajaran di sekolah menurun, sulit dibangunkan untuk sekolah, munculnya kondisi tertentu seperti sakit perut, atau selalu ingin bab pada saat hendak berangkat sekolah, rasa takut terhadap guru, dll.

Sehingga selain kami melakukan beberapa tehnik terapi, kami juga sering menganjurkan kepada orangtua anak tsb untuk mencari sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan anaknya (saat ini sudah ada beberapa sekolah yang menggunakan metode active learning) atau bisa mencari informasi dan menjajaki metode Homeschooling. Saya sendiri sudah beberapa tahun ini mencari tahu tentang Homeschooling walaupun sampai saat ini belum menerapkannya secara menyeluruh kepada kedua putri kami.

Dari pengamatan saya, ide Homeschooling menjadi pilihan bagi orang tua dalam mendidik para putra-putrinya sebenarnya terjadi karena:

  1. Adanya ketidak percayaan orangtua pada institusi formal dalam hal mendidik anak mereka. Orangtua merasa: - Sekolah menjadi tempat ”berbahaya” seperti tidak terkontrolnya pergaulan, banyak terjadi bullying, tauran, kasus narkoba yang cukup tinggi di kalangan anak sekolah saat ini, dll. Kepercayaan orangtua bahwa institusi pendidikan formal akan memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap anak-anak mereka mulai luntur.; - Sekolah menjadi tempat yang ”merepotkan” karena rumitnya persiapan untuk mendapatkan sebuah ke sekolah seperti banyaknya aturan yang harus dipenuhi khususnya yang berhubungan dengan dana seperti uang buku, uang dafta ulang, dll; jalan menuju sekolah yang macet sehingga persiapan ke sekolah harus dilakukan pagi-pagi buta, dll. ; - Sekolah menjadi tempat yang eksklusive, hanya untuk orang-orang yang mempunyai uang karena institusi formal tidak disubsidi dengan baik oleh pemerintah.
  2. Adanya keinginan orangtua memberikan pendidikan guna menunjang masa depan anak yang sesuai dengan karakter anak tsb.
  3. Orang tua merasa bahwa anak adalah hadiah dari Tuhan sehingga harus benar-benar dijaga.
  4. Adanya filosofi yang menyatakan bahwa anak adalah titipan Tuhan sehingga orangtua berusaha memberikan bekal yang terbaik buat anak-anaknya.
  5. Adanya kegiatan anak yang sulit sekali disesuaikan dengan jadwal sekolah formal.

Menurut sebuah buku yang sudah saya baca, homeschooling adalah sebuah sekolah alternatif yang menempatkan anak-anak sebagai subyek dengan pendekatan pendidikan secara at home (Paduan Lengkap Home Schooling karya Maulia D. Kembara, M.Pd.).

Dari beberapa buku Homeschooling yang saya baca, bahwa pelaksanaan metode homeschooling juga dapat mengaplikasikan teori Multiple Intelligences – Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence by Howard Gardner) guna membantu mengoptimalkan proses pengembangan anak karena homeschooling dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan gaya belajar setiap anak.

Berdasarkan buku Homeschooling: A leap for better learning karya Sumardiono, dikarenakan homeschooling bersifat unique karena di sesuaikan dengan nilai dan latar belakanG dari setiap keluarga yang berbeda, maka terdapat pilihan beberapa model untuk homeschooling seperti:

  • School at-home
  • Unit studies
  • Charlotte Mason atau The Living Book Approach
  • Classical
  • Waldorf
  • Montessori
  • Unschooling atau Natural Learning
  • Eclectic

Dan sesuai dengan apa yang beberapa waktu lalu saya pelajari, metode MONTESSORI sudah menerapkan hampir semua kriteria-kriteria yang digunakan dalam pembelajaran dengan metode Homeschooling.

Jadi jika keinginan memberikan pendidikan yang ideal buat anak anda marilah kita mulai dari diri kita sendiri dan rumah kita dahulu. Jangan memberikan beban ini kepada orang lain tanpa kita memberikan andil yang lebih besar. Anank-anak terbentuk dari perilaku yang mereka tiru di sekitar mereka.

Mudah-mudahan apa yang ada dalam pikiran saya selama ini dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.

Salam,

Read Full Post ...,

Wednesday, March 26, 2008

Hari yang Sangat Indah

Kemarin seharian saya menghabiskan waktu saya di sekolah anakku. Hari itu saya dijadwalkan jam 11.00 pagi bertemu dengan orangtua lain untuk membahas mengenai biola anakku yang karena kecelakaan patah pada tanggal 25 Februari 2008 (dua hari sebelum pertunjukan launching logo sekolah).

Kejadian sebenarnya terjadi pada saat latihan bersama terakhir di sekolah menjelang pertunjukan Peluncuran Logo Baru sekolah anakku. Saat itu mereka sedang beristirahat di antara waktu latihan. Kemudian datanglah seorang teman dari anakku untuk meminjam biola anakku. Dengan berat hati, karena anakku tahu apa yang selama ini aku wanti-wantikan kepadanya dan disertai rasa keinginannya untuk tidak dianggap ”orang yang tidak suka meminjamkan barang miliknya” oleh temannya, akhirnya dipinjamkanlah biola tsb.

Rupanya... karena biola merupakan alat musik yang unik dan sangat menarik buat anak-anak, maka berpindah tanganlah si biola ini.

Pada saat yang bersamaan, mereka juga saling bercanda satu dengan yang lain sehingga akhirnya terjadilah kejar-kejaran di antara anak-anak tersebut yang mengakibatkan dua orang di antaranya tanpa sengaja saling bersenggolan. Kebetulan, salah seorang yang tersenggol itu adalah anak yang sedang memegang biola anakku. Maka terjadilah kecelakaan ini. Biola tsb menjadi patah dibagian lehernya.......

Anakku sangat sedih melihat biolanya kembali kepadanya dalam keadaan seperti itu. Dia bercerita bahwa dia sempat sedikit menangis pada saat mengetahui biolanya patah. Terbayangkan oleh saya bagaimana kaget dan galaunya hati anakku. Perasaannya pasti bercampur aduk antara takut dimarahi mamanya, bagaimana dia akan melakukan pertunjukan yang tinggal 2 hari lagi tanpa biolanya, dan perasaan akankah dia mendapatkan biolanya dalam waktu dekat lagi, bagaimana dengan kursus biolanya tanpa dia mempunyai biola.

Akhirnya pergilah anakku ini kepada gurunya dengan membawa biolanya. Alangkah kagetnya sang guru karena sebelumnya beliau sudah memperingatkan anak-anak yang memiliki biola untuk memegang biola dengan baik. Tetapi namanya juga anak-anak.....

Yang sangat saya kagumi dari kejadian ini adalah salah seorang di antara kedua anak yang terlibat dalam insiden ini langsung menyatakan dengan spontan dan dengan sikap ksatrianya bahwa dia akan BERTANGGUNG JAWAB. Coba bayangkan, di jaman seperti sekarang ini dimana orang yang bersikap satria, jujur dan mau bertanggung jawab sudah sangat... sangat... dan sangat sulit dijumpai, eh.... ternyata di sekolah anakku dan di antara anak-anak yang usianya masih sangat muda, masih banyak ditemukan anak-anak yang berani mengakui kesalahannya dan mau bertanggung jawab atas kesalahan mereka sendiri. Sungguh beruntung anak-anak seperti mereka yang saya yakin sekali kalau selama ini mereka selalu dikelilingi oleh orang-orang berperilaku dan berbuat sama seperti itu. (Terimakasih teachers and parents.

Beberapa hari kemudian, berderinglah telephone di rumah saya. Ternyata datang dari salah seorang guru koordinator MAT. Beliau ingin membicarakan masalah biola tsb. Beliau bercerita bahwa baru saja mengumpulkan anak-anak yang berhubungan dengan masalah ini termasuk anak saya. Dan di antara mereka telah terjadi keputusan yang diambil bersama oleh mereka sendiri bahwa mereka akan bertanggung jawab mengganti biaya biola yang rusak tersebut dengan perincian 20% dari biaya ditanggung oleh anak saya sedangkan sisanya dibagi rata oleh anak-anak yang lain.

Point yang saya ambil dari keputusan tsb adalah adanya rasa tanggung jawab baik itu dari anak saya yang juga saya yakin punya perasaan bersalah sehingga peristiwa ini bisa terjadi, maupun dari anak-anak yang lain walaupun keputusan ini keluar sebelum mereka berkonsultasi dengan para orangtua masing-masing. Saya sangat yakin bahwa semua ini menjadi pelajaran yang sangat berharga buat mereka. ("Girl, Mom and Dad are very proud of you.")

Saya ingin menghimbau kepada siapa saja yang membaca cerita ini untuk SELALU MEMBERIKAN CONTOH YANG BAIK KEPADA ANAK-ANAK DI SEKITAR KITA baik itu anak kita sendiri maupun anak-anak didik kita. Seperti yang Maria Montessori bilang

It may be said that that we acquire knowledge by using our minds; but the child absorbs knowledge directly into his psychic life." - The Absorbent Mind :: Dell Publishing, 1984 :: p. 36


Sehingga mereka kelak bisa menjadi generasi yang sangat kita harapkan saat ini. Mudah-mudahan cerita ini memberikan sedikit inspirasi buat kita semua.
Salam, Read Full Post ...,

Monday, March 24, 2008

Nilai-nilai Kehidupan yang Sering Terlupakan

oleh Devy Permadi (diambil dari TK GITA NITI Newsletter)

Saya selaku orang tua dari dua orang putri yang perbedaan umur keduanya terpaut lumayan jauh yaitu 4 tahun, akhir-akhir ini merasa secara tidak langsung telah ditegur oleh anak-anak saya dengan celetoh-celetohannya mengenai apa yang sudah didapat dan dipelajari di rumah dan di sekolah masing-masing.

Ada saat-saat dimana kita sebagai orang tua atau pendidik lupa akan apa-apa saja yang sudah kita perkenalkan dan ajarkan kepada anak-anak kita.

Salah satu contoh adalah kebiasaan berdialog akrab dengan panggilan “loe” dan “gue”, di antara kami sebagai orang tua atau mengeluarkan ungkapan-ungkapan “gila kamu” atau “pakai otak dong” pada saat kami sedang mengalami semerawutnya lalu lintas di jakarta. Ketika hal tersebut tercetus dan dicerna anak-anak secara kritis, mereka langsung mempertanyakan kembali “wejangan-wejangan” kami tentang nilai kata tersebut dalam hubungan kekeluargaan kami. Hingga tercetuslah ungkapan “gila Kamu” dari anak saya kepada saya.


Ada suatu kejadian lain yang menimpa salah seorang anak saya. Kejadian ini terjadi di kelasnya pada saat Kepala sekolahnya (seorang Ibu) ingin memperkenalkan guru pengganti wali kelasnya. Anak-anak menganggap Ibu Kepala sekolah ini sangat pandai bergurau (alias lucu).

Pada saat berbicara di depan murid-murid kelas 3 (kebetulan anak saya duduk di kelas 3 SD), beliau melontarkan suatu pertanyaan, “Hewan apa saja yang dapat dijadikan hewan kurban (kami pemeluk agama Islam setiap tahun melakukan kurban )? Lalu anak saya menjawab “Ayam!”. Si ibu Kepala sekolah ini dengan bercanda menjawab “Bodoh kamu!” (sambil tertawa). Seisi kelaspun ikut tertawa, karena hal tersebut dianggap suatu guyonan.

Coba kita bersama-sama menelaah kembali. Apakah memang betul kata-kata tersebut sudah menjadi kata lumrah yang kita gunakan sehari-hari? Berapakalikah kata-kata diatas kita dengar dalam sehari, baik itu di jalanan saat kita sedang bermacet ria, di acara televise yang sedang kita tonton, di percakapan sehari-hari yang sering kita lakukan di antara teman-teman yang sangat akrab atau bahkan di bagian kolom karikatur atau komik bergambar dalam harian surat kabar.

Apakah kata-kata tersebut sekarang sudah tidak berarti atau bermakna seperti arti sesungguhnya? Atau kata itu sudah menjadi kata yang berfungsi sebagai bumbu untuk membuat suasana menjadi tidak kaku? Atau…….
Mudah-mudahan dengan satu pemikiran balik dari penggunaan kata-kata seperti “bodoh”, “gila kamu”, “nggak punya otak” dan lain-lain ini, kita selaku orang tua dan juga pendidik menjadi sangat lebih berhati-hati dengan apa yang kita perkenalkan dan ajarkan kepada anak-anak kita dan juga dalam praktek-praktek keseharian kita sendiri.

Saya juga selaku orang tua dan pendidik, sangat mengucapkan banyak terima kasih kepada Taman Bermain Gita Niti yang telah mengadakan KNOT dengan tema “Nilai-nilai kehidupan” yang bisa menjadi pengingat kembali bagi kita para orang tua dan pendidik serta membantu kita selaku orang tua dalam memberikan pengertian kepada anak-anak kita tentang nilai-nilai kehidupan.

Read Full Post ...,

Sunday, March 23, 2008

Tanah Baru, Depok

Hai friends,

Hari ini adalah hari terakhir liburan buat kami sekeluarga setelah long week-end. Rencananya hari ini kami akan mengambil hasil pembuatan keramik kami di Rumah Tanah Baru, Depok - Galerinya Keramikus F. Widayanto.

Anak-anak sudah sangat tidak sabar melihat hasil karya mereka yang lupa kami ambil setelah hampir lebih dari 1 bulan. Apalagi si kecil yang sudah berniat memajang dan menggantungkan hasil karya mereka di kamar tidur mereka. Mudah-mudahan kami bisa mendapatkannya hari ini.

Salam,






Read Full Post ...,

Saturday, March 22, 2008

Pameran Arsitektur 4 D (Dekade)


Hari Rabu (18 Maret 2008) adalah hari dibukanya Pameran Arsitektur 4 D (Dekade) oleh bapak Yusuf Kalla (wakil Presiden kita) di Galeri National Gambir (Harian Kompas, Sabtu 22 Maret 2008dan Minggu 23 Maret 2008). Pameran ini akan diselenggarakan dari tanggal 18 Maret sampai dengan 29 Maret 2008 dan akan ditutup oleh Bapak Fauzi Bowo (Gubernur DKI) serta acara Temu Akbar Alumni Arsitektru Universitas Indonesia. Pameran ini akan memamerkan hasil karya beberapa alumni jurusan Arsitektur Universitas Indonesia. (selama yah kepada teman-teman yang sudah meluangkan waktunya yang sangat berharga guna terswelenggaranya pameran ini. CONGRATULATION BUAT NOERZAMAN - Ketua Ikatan Alumni Arsitektur UI)

Saya gembira dan terharu pada saat mendengar akan diadakannya pameran ini. Betapa telah lamanya saya meninggalkan almamater saya ini tanpa meninggalkan jejak yang berarti. Memang selama ini saya tidak terjun dalam dunia arsitektur yang sudah saya pelajari selama lebih kurang 8 tahun (6 tahun di S1 dan 2 tahun di S2), tapi saya tidak menyesal dengan keputusan yang sudah saya ambil. Selama hampir 10 tahun saya tidak melakukan aktifitas lain selain memanage rumah dan keluarga saya. Keseharian saya selama ini saya fokuskan pada suami dan anak-anak saya. Tetapi saya bersyukur dengan semua ini. Karena saya kini menjadi diri saya yang sangat bahagia. Di antara waktu-waktu mengurus keluarga, saya menyisihkan waktu untuk mempelajari beberapa ilmu baru yang berhubungan dengan anak dan keluarga (ternyata memang benar bahwa kita diharapkan untuk terus belajar).

Pertama-tama saya berkenalan dengan ilmu pendidikan anak usia dini yaitu MONTESSORI. Di sinilah saya mempelajari bagaimana sebaiknya kita memberikan pendidikan kepada seorang anak baik di rumah maupun di sekolah. (Terima kasih kepada Ibu MARIA MONTESSORI yang telah melakukan penelitian dan percobaan sehingga metoda ini sekarang bisa digunakan oleh kita semua.) Kita diperkenalkan dengan cara kerja otak. Dan.... ini membawa saya untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang berhubungan dengan otak.

Saat ini saya dan suami telah mempelajari beberapa ilmu yaitu Hypnotherapy, TAT, EFT, dll dimana ilmu ini biasa disebut orang dengan ilmu Phsyco-energi. Kami menggunakan ilmu ini untuk membantu siapa saja sehingga saat ini kami membuka sebuah ruangan kecil yang kami sebut klinik guna membantu siapa saja yang memerlukan pertolongan kami. Kiranya inilah jalan yang sudah ditunjukkan oleh Allah buat kami guna membantu sesamanya.

Terima kasih buat yang sudah membaca cerita saya.

Salam,

>
Read Full Post ...,

Tuesday, March 18, 2008

Peran Orantua Menunjang Keberhasilan Hidup Anak

oleh Adi W Gunawan


Didiklah anak-anakmu untuk masa yang bukan masamu ? Ali Bin Abi Thalib r.a.

Semua orangtua berharap anak mereka kelak akan menjadi pribadi yang sukses dalam hidup. Orangtua berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak mereka di lembaga pendidikan terbaik. Namun apakah benar bahwa pendidikan formal adalah jaminan keberhasilan hidup anak? Jawabannya TIDAK!

Untuk bisa membantu anak berhasil dalam hidupnya kelak, orangtua perlu mencermati hal-hal mendasar yang dibutuhkan anak sebagai pondasi keberhasilan hidup. Hal mendasar yang harus benar-benar diperhatikan antara lain adalah konsep diri, sikap, kepribadian, karakter, nilai hidup, kepercayaan, kejujuran, kepemimpinan, kemampuan komunikasi, kedisiplinan, dan motivasi yang tinggi.

Secara ringkas, orangtua perlu memperhatikan hal-hal berikut:



  • Membantu anak mengenali dirinya (kekuatan dan kelemahannya)
  • Membantu anak mengembangkan potensi sesuai bakat dan minatnya
  • Membantu meletakkan pondasi yang kokoh untuk keberhasilan hidup anak
  • Membantu anak merancang hidup

Peletakan pondasi sukses diawali sejak anak lahir dan berlanjut hingga tiga tahun pertama. Selanjutnya, dengan bekal yang didapat selama tiga tahun pertama dalam hidupnya, anak mengembangkan dirinya untuk tiga tahun ke dua. Enam tahun pertama merupakan masa yang sangat kritis dalam hidup anak. Apa yang didapat selama masa ini merupakan dasar untuk anak dalam mengkonstruksi dirinya pada enam tahun ke dua dan ke tiga.

Proses pendidikan yang dilalui anak pada masa sekarang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi pendidikan dapat membantu seorang anak untuk mengembangkan kapasitas intelektualnya. Di sisi lain pendidikan, karena proses yang salah, sering kali justru menjadi penghambat hidup anak kelak. Mengapa bisa begini?

Masa kritis anak, dalam proses pendidikan formal, adalah selama lima tahun pertama mereka di SD. Masa ini merupakan masa yang sangat menentukan karena sering kali konsep diri anak dan rasa diri mampu dan berharga justru rusak akibat proses pembelajaran yang tidak manusiawi yang hanya menempatkan anak sebagai obyek pendidikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di luar negeri terhadap murid SD kelas 1 sampai 6, didapatkan fakta bahwa pembentukan konsep diri yang terjadi saat anak di SD sangat dipengaruhi oleh prestasi akademiknya. Prestasi akademik seorang anak menentukan konsep diri anak. Selanjutnya konsep diri akan mempengaruhi prestasi akademik. Pada tahap selanjutnya konsep diri dan prestasi akademik akan saling mempengaruhi, baik secara positip maupun negatif.

Semua anak pada dasarnya terlahir dengan potensi menjadi jenius. Masing-masing anak mempunyai keunggulan di aspek kecerdasan yang berbeda. Hal ini sejalan dengan teori Multiple Intelligence. Sayangnya, sistem pendidikan kita hanya mengakomodasi dan menghargai salah dua dari delapan kecerdasan yang ada, yaitu hanya menghargai kecerdasan logika/matematika dan bahasa (linguistik).

Setiap anak mempunyai kepribadian dan keunikan tersendiri. Salah satu keunikan mereka adalah gaya belajar. Ada tiga gaya belajar yang dominan yaitu gaya belajar visual (berdasar penglihatan), gaya belajar auditori(berdasar pendengaran), dan gaya belajar kinestetik (berdasar sentuhan/gerakan). Setiap gaya belajar ini mempunyai cara belajar yang berbeda. Prestasi akademik anak yang rendah sering kali disebabkan karena guru tidak mengerti cara mengajar yang benar, yang sesuai dengan kepribadian dan gaya belajar murid.

Sekolah pada umumnya hanya menggunakan gaya belajar visual dalam proses pembelajarannya. Hal ini sangat merugikan anak dengan gaya belajar dominan auditori dan kinestetik. Anak kinestetik, karena sering bergerak dalam belajar, akan dianggap sebagai anak nakal atau hiperaktif. Label ini akan menjadi "cap" yang bersifat negatip dan akan terus terbawa hingga anak dewasa.

Sekolah selama ini tidak pernah mengajarkan anak cara belajar yang benar melalui kurikulum "belajar cara belajar". Sekolah hanya memberikan bahan ajar tanpa pernah mengajarkan strategi belajar yang sesuai untuk setiap gaya belajar.

Jangankan bicara kurikulum "belajar cara belajar", kurikulum yang ada saat ini saja masih sangat amburadul. Minggu lalu saya membaca di koran bahwa KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), yang oleh sebagian besar orangtua dan guru diplesetkan menjadi Kurikulum Bingung Kabeh (kabeh dalam bahasa Jawa artinya "semua") , ternyata tidak jadi diberlakukan setelah diujicobakan selama beberapa tahun. Ck? ck? ck? hebat nggak? Mau dibawa ke mana pendidikan anak kita? Ternyata anak kita hanya menjadi kelinci percobaan Diknas. Yang lebih gila lagi, maaf kalau saya menggunakan kata yang kurang santun, yang menjadi kelinci percobaan adalah semua anak didik di Indonesia. Anak-anak kita yang nantinya menjadi generasi penerus yang menentukan keberhasilan dan kemajuan bangsa Indonesia. KBK sudah saatnya diganti menjadi KAK. Apa itu? Kurikulum Ajur Kabeh atau Kurikulum Hancur Semua.

Hal lain yang juga sangat disayangkan adalah sekolah, pada umumnya, tidak tahu bahwa sebenarnya semua bidang studi dapat digolongkan menjadi empat kategori yaitu kategori bahasa, konsep, kombinasi, dan hapalan. Setiap kategori ini menuntut teknik atau strategi belajar yang berbeda.

Murid atau anak yang tidak tahu strategi belajar untuk setiap kategori akan mengalami kesulitan belajar yang berakibat pada pencapaian prestasi akademik yang rendah. Pencapaian prestasi akademik yang rendah akan membuat anak yakin bahwa ia adalah anak yang "bodoh". Apabila pencapaian prestasi rendah berlangsung berulang kali maka dapat dipastikan anak benar-benar menjadi bodoh, sebenarnya bukan karena anak bodoh namun lebih karena mereka percaya bahwa mereka "bodoh".

Selain perlu mengajar anak strategi belajar untuk setiap kategori anak juga perlu belajar cara membaca yang benar, cara mencatat yang benar, cara menghitung yang benar, dan cara menghapal yang benar. Ini adalah bagian dari keterampilan belajar yang harus dikuasai anak, yang sayangnya tidak pernah diajarkan di sekolah.

Langkah selanjutnya adalah mengajarkan anak strategi yang tepat untuk mengerjakan soal ujian. Mengapa? Karena setiap tipe soal menuntut cara pengerjaan yang berbeda. Misalnya soal pilihan ganda, menjawab singkat, menjodohkan, esai, dan soal cerita.

Selain perlu mengembangkan kecakapan di aspek akademik, anak juga perlu mengembangkan kecakapan lain yang sesuai dengan bakat dan minat. Untuk mudahnya orangtua dapat membantu anak mengembangkan hobi anak.

Fase kritis selanjutnya adalah saat anak di SMU. Pada masa ini orangtua harus bisa membantu anak dalam merencanakan hidup. Penetapan tujuan hidup, walaupun belum bisa dilakukan secara final pada usia remaja, akan sangat menentukan jurusan yang dipilih saat di kelas 2 SMU.

Pada banyak kasus, sering kali orangtua memaksakan kemauan mereka terhadap anak tanpa pernah mengindahkan pikiran dan suara hati anak. Orangtua sering kali merasa tahu semua yang terbaik bagi anak mereka. Pemaksaan kemauan ini semakin diperburuk oleh kerangka berpikir atau paradigma yang sudah usang, yang dijadikan pijakan berpikir para orangtua. Seringkali orangtua berusaha mewujudkan impian mereka, yang tidak dapat mereka capai saat mereka masih muda, melalui anak mereka.

Pada masa remaja (SMU) orangtua sebaiknya membantu anak untuk "melihat" masa depan, khususnya dalam aspek karir atau pekerjaan. Ada empat kuadran yang bisa dimasuki anak. Ada kuadran pegawai/karyawan, kuadran pengusaha, kuadran pemilik usaha, dan kuadran investor.

Setiap kuadran mempunyai aturan main yang sangat berbeda dan membawa konsekwensi yang juga berbeda. Tidak tepat bagi kita, selaku orangtua, untuk menentukan kuadran mana yang harus dimasuki anak saat mereka selesai kuliah. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan menyiapkan mereka sebagai pembelajar seumur hidup, yang senantiasa berkembang, yang akan mampu beradaptasi dengan berbagai situasi yang dihadapi.

Semua ini bisa dilakukan anak bila pondasi hidupnya kokoh, bila konsep dirinya kuat dan positip, bila anak merasa dirinya berharga dan layak untuk sukses, dan anak tahu apa yang ia inginkan dalam hidupnya.

Dengan pondasi hidup yang kokoh maka anak akan dapat mengembangkan potensinya secara maksimal. Potensi yang merupakan anugerah dari Tuhan yang dibawa anak sejak lahir. Potensi yang akan menjadi kekuatan dan batu pijakan anak untuk meraih keberhasilan hidup di bidang apa saja.;

Read Full Post ...,

Saturday, March 15, 2008

Asap dimana-mana


Dear all,

Lihatlah muka-muka bayi di bawah ini yang begitu lutuna...... Sadarkah kita bahwa muka-muka itu sebentar lagi akan berubah.

Mulailah dengan melihat di sekitar kita yang paling dekat. Saya sangat prihatin dan khawatir bahwa kita dan seluruh anak cucu kita sebentar lagi harus membayar mahal untuk mendapatkan udara yang layak buat kita hirup kalo bisa 100% Bebas Asap Rokok.

Saya & suami kadang-kadang sangat enggan membawa anak-anak kami ke sebuah mall di daerah Jakarta Selatan yang cukup terkenal sebagai tempat untuk keluarga, kerabat dan handai taulan membuat janji pertemuan dimana tempat ini didominasi oleh tempat makan/restauran. Ini disebabkan karena di mall tersebut sangat sulit bernafas. Asap rokok melayang dimana-mana baik di dalam tempat makan maupun di luarnya. Tidak ada lagi batasan mana areal non-smoking dan mana areal smoking. Bagaimana bapak petugas dengan aturan yang menyatakan dilarang merokok di depan umum.

Saya sampai berpikiran, alangkah egoisnya para perokok itu (apakah memang begitu hai para perokok?). Tidak terfikirkan kah oleh mereka akibat dari asap rokok bagi perokok pasif apalagi mayoritas anak-anak. Padalah saya yakin mereka bukan orang yang tidak terpelajar. Dimanakah hati nurani mereka? Apalagi semakin teriris hati saya pada saat melihat seorang ibu yang merokok di sebelah anaknya sendiri yang sedang duduk di atas kereta dorong. Betapa egoisnya kita sebagai orang tua yang hanya memikirkan kepentingan diri kita sendiri.

Coba mari kita perhatikan di sekitar kita. Sangat mudah bagi kita untuk menemukan orang yang merokok. Dan sangat mengagetkan bahwa ternyata mayoritas adalah generasi muda. Semakin hari semakin banyak wanita yang terlihat mengepulkan asap (bukan maksud hati memasalahkan soal gender), padahal resikonya lebih tinggi jika wanita menjadi perokok.

Mari kita sebagai orangtua mulai berjuang dalam hal mendapatkan udara yang layak untuk anak-anak kita hirup dari rumah kita sendiri. Tolong bantu anak-anak kita untuk hidup layak paling tidak seperti yang kita nikmati sewaktu kita kecil dulu. Mudah-mudahan perjuangan kita mendapatkan hasil yang sangat bermanfaat buat generasi penerus kita. Amin.

Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca uneg-uneg saya.
Salam,
Read Full Post ...,

Thursday, March 13, 2008

Welcome!

Dear friends,

Selamat datang di Amanda - Adinda. Blog ini sengaja saya buat sebagai wadah atau ajang buat saya, teman-teman atau siapa saja yang ingin menyatakan, mengeluarkan ide atau uneg-uneg, atau bertukar pikiran mengenai anak dan keluarga. Mudah-mudahan blog ini memberikan manfaat dan pembelajaran kepada kita semua selaku orangtua atau pendidik yang paling dekat dengan anak khususnya anak kita sendiri

Terima kasih kepada semuanya yang telah mengunjungi Amanda - Adinda.

Cheers,
Read Full Post ...,